Oleh
Erina Candra Dewi
Beberapa media cetak maupun elektronik pada awal tahun
2014 menyoroti ditiadakannya ujian nasional (UN) untuk sekolah dasar.
Dihapuskannya ujian nasional tersebut tidak serta merta siswa sama sekali tidak
menempuh ujian untuk dijadikan bahan seleksi untuk mendapatkan sekolah jenjang
berikutnya (SMP sederajat). Seperti yang dinyatakan Musliar Kasim, Wakil
Menteri Bidang Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kompas, 15 Maret 2014, bahwa peniadaan
UN 2014 terkait dengan pendidikan dasar 9 tahun yang merupakan kesinambungan
dan nilai ujian sekolah yang merupakan pengganti ujian nasional tetap berlaku
untuk mendaftar di SMP yang diinginkan.
Sudah barang tentu persiapan ujian memerlukan usaha yang
lebih dibandingkan biasanya. Waktu yang dimiliki siswa yang biasanya untuk
bermain, pengembangan diri (ekstrakurikuler) dan lainnya digunakan untuk
mendalami materi ujian. Kebijakan seperti ini umum ditemukan di banyak SD di
Indonesia. Oleh karena itu, tak jarang siswa akan merasa mendapat tekanan.
Tekanan inilah yang akan memicu siswa menjadi cemas bahkan stres menjelang
ujian.
Kecemasan
sebagai Respon dari Tekanan
Teori
behaviourisme yang banyak dianut oleh pakar psikologi antara lain Thorndike,
Ivan Pavlov, B. F. Skinner, Slavin, dan Albert Bandura mengungkapkan bahwa
belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000: 143). Kebiasaan diciptakan oleh kumpulan-kumpulan aktivitas yang
dilakukan secara berulang-ulang. Stimuli tertentu akan menghasilkan respon
tertentu. Respon yang ditimbulkan ini bergantung pada subyek yang menerima
stimuli karena bergantung kepada apa yang ia pelajari sebagai kebiasaan. Akan
tetapi Joseph Wolpe dalam bukunya Practice
of Behaviour Therapy (dalam Joyce dan Weil, 1980: 389) mengungkapkan bahwa pola kebiasaan itu dipelajari dan
bisa dimodifikasi atau “tidak dipelajari” dengan membuat stimuli serta
penguatan untuk mengubah kebiasaan. Maksudnya adalah prinsip dari counter-conditioning atau pengkondisian
perlawanan yaitu untuk mengubah respon agar kebiasaan lama (kebiasaan buruk)
bisa berubah kepada kebiasaan baru (kebiasaan baik).
Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan antara orang satu
dengan orang lainnya bisa jadi sama bila mendapati stimuli tertentu. Salah satu
kebiasaan ini adalah respon panik atau cemas ketika mendapat stimuli tekanan.
Bukan hanya satu orang yang mempunyai kebiasaan ini, contohnya adalah anak-anak
sekolah dasar. Waktu-waktu khusus seperti waktu mendekati ujian tidak jarang
kebanyakan siswa bersikap cemas. Di bawah ini ada sebuah keadaan kecemasan
siswa yang ditulis oleh Robert Decker, Ph. D. (dalam Joyce dan Weil, 1980:
388-389), seorang psikolog klinis. Contoh ini dialami oleh siswa kelas 7 akan
tetapi penulis berkeyakinan bahwa siswa SD sekalipun sangat bisa mengalami
keadaan cemas seperti ini.
A seventh grade class in Austin, Texas, is getting ready to present a
program on local environmental issues to an assembly of the student body of the
school. They have been preparing it for several days. Sally Moon, the social
studies teacher, meets with the class at one o’clock to begin the final
preparations for the assembly, which will begin at 2.15.
Things
do not seem to be quite together. The student are squabbling about who is doing
what. Some of the posters they have prepared cannot be seen from a distance and
have to be redone quickly. Sally finds herself feeling tense, and she and one
of the children snap at each other as they are arranging the stage. She stands
for a moment looking at the children as they bustle about and says, “Let’s take
a few momentsfor ourselves. Jeannie, will you lead us in our relaxation
exercises?” For a moment the students look puzzled. One or two appear to be
annoyed at being Jeannie begins. “Let’s start with the old basics,” she says.
“Hold your arms straight out, make a fist, and when I say ‘relax’, let your
arms fall into your laps.” For several minutes they practice tensing and
relaxing their hands and arms, shoulders and stomachs, moving from one part of
the body to another.
“My
gosh, I feel better now,” says Jeannie. “Do you think that’s enough?” Everybody
smiles as they ge up and resume their tasks. There is less tension, and they
feel closer to one another because they have recognized that they were letting
the pressure of the program “psyche them out.” They have learned that stress
and anxiety inhibit efficiency and are uncomfortable states, whereas when they
are relaxed, they are more effective and feel better. Sally smiles and begins
to help the children rather than snapping at them, and they smile back in their
shared knowledge of having ––at least for that moment––been brought together to
solve a problem by exchanging a productive, comfortable behavior for they
discomfort.
Sally
Morton and her class have learned the Relaxation Model. They have acquired a basic
tool for working together more smoothly.
Contoh di atas termasuk penggambaran siswa yang sedang
cemas ketika mendapat tekanan dan guru melakukan sebuah model rileksasi untuk
membuat siswa nyaman secara psikologis. Selanjutnya akan dijelaskan sebuah
model yang berguna dalam mengatasi kecemasan siswa terutama ketika mendapat
tekanan (mis: mendekati ujian).
Model
Rileksasi dalam Pendidikan di SD
Pendidikan di SD dilaksanakan bukan hanya untuk membekali
siswa pengetahuan semata. Keterampilan juga diajarkan bukan hanya sebagai
penyokong pengetahuan yang diterimanya melainkan juga sikap yang melekat pada
dirinya. Sikap tentu saja erat kaitannya dengan aspek psikologis siswa. Sikap
cemas yang biasa timbul ketika mendapatkan tekanan tentu saja harus dilakukan
sebuah modifikasi demi kebaikan psikologis siswa saat itu maupun di masa depan.
Model rileksasi yang dimaksudkan untuk memodifikasi
respon kecemasan siswa yaitu rileksasi yang dilakukan oleh satu kelas siswa
dengan guru sebagai instrukturnya. Model ini menggunakan cara peregangan otot,
pengondisian fisik yang rileks (merenggangkan pakaian/ikat pinggang, melepas
kacamata, duduk dengan santai, memejamkan mata) dan mengubah sebentar fokus
pikiran dari yang membuat pikiran menjadi stress kepada pikiran yang membuat
rileks. Waktu pelaksanaan rileksasi ini bisa dalam jam pelajaran dengan mata
pelajaran dan bisa berdiri sendiri sebagai jam khusus rileksasi. Penulis
merekomendasikan jam khusus rileksasi untuk memodifikasi respon cemas siswa
terhadap ujian. Jam khusus rileksasi ini bisa dilaksanakan pada hari terakhir
di setiap minggunya sekitar 1 bulan sebelum ujian. Waktu rileksasi dalam satu
kali praktik memerlukan waktu 20-30 menit.
Penerapan
Model Rileksasi
Terdapat 5 fase dalam penerapan model rileksasi ini. Pertama adalah fase persiapan (setting stage). Dalam fase ini, guru
mempersilakan siswa untuk membuat nyaman dirinya sendiri. Kenyamanan ini
diciptakan dengan memperbaiki posisi duduk (bisa di kursi maupun di atas
karpet), melonggarkan pakaian misalnya ikat pinggang yang agak dikendorkan,
melepaskan kacamata, dan lain-lain. Akan lebih baik bila siswa memejamkan
matanya untuk mendapatkan suasana yang lebih menenangkan. Bila siswa enggan
menutup mata, guru meyakinkan siswa bahwa yang akan dilakukan bersama akan
baik-baik saja dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Kedua adalah fase
transisi atau pemanasan. Pada fase ini, secara oral guru membuat siswa lebih
rileks lagi. Berikut adalah contoh skrip perkataan guru pada siswa dan instruksi
untuk guru pada fase kedua model rileksasi.
Perkataan
Guru pada Siswa
|
Instruksi untuk Guru
|
Mengalir bersama apa yang ibu ucapkan,
kalian akan merasakan tubuh kalian yang rileks dan lebih rileks
lagi..........Mulai dari badanmu......Rasakan otot-otot mu yang mulai
melemas.......Rasakan badanmu yang tenang dan damai......Lebih damai dan
lebih riles lagi.......
|
Pesan yang lembut, perlahan-lahan dan
rileks adalah yang paling penting pada fase ini. Yang perlu dikendalikan
adalah kontrol nada suara, tempo, keras-lemah suara. Guru harus berlatih
dahulu sebelum mempraktikkannya langsung pada siswa. Akan lebih baik bila
guru merekam suaranya dan mendengarkannya sendiri. Dengan cara ini, guru akan
mengetahui di bagian mana harus diperbaiki tone suara dan lain-lainnya.
|
Fase yang ketiga
disebut dengan fase memindah fokus pikiran (moving
focus relaxation). Ini adalah fase yang utama dalam model ini. Siswa
diinstruksikan untuk fokus dan merileksasi badannya mulai dari kaki, betis,
paha, pinggang, dada, otot-otot pernafasan, pundak, tangan, dan otot-otot di
wajah. Guru menggunakan perkataan dengan tempo yang pelan. Di bawah ini adalah
contoh skrip perkataan guru.
Perkataan
Guru pada Siswa
|
Instruksi untuk Guru
|
Sambil duduk dalam rileksasimu,
dengarlah perkataan ibu, ibu akan membawamu ke dalam sebuah perjalanan yang
sangat damai. Kembali rilekskan seluruh tubuhmu.......
Untuk memulainya, rasakan kakimu. Ia
begitu tenang dan rileks......Betismu, lemas dan santai........Rasakan..........Good.
|
Tetap menggunakan nada suara yag
lembut dan tenang. Rileksasi ini ditujukan pada seluruh otot-otot tubuh yang
dimungkinkan tegang dan membutuhkan rileksasi. Timbal balik seperti berkata
“Bagus”, “Good” akan membuat siswa lebih
merasa rileks dan yakin dengan apa yang dirasakannya. Fokus siswa akan
tertuju hanya pada rasa rileks tersebut.
|
Di fase keempat
adalah fase pelepasan dari fase rileksasi secara perlahan-lahan. Siswa
diberikan kesempatan untuk menikmati suasana rileksnya dan berlatih pernafasan.
Siswa diminta untuk benar-benar merasakan apa yang ada dalam dirinya. Guru
membimbing siswa untuk bernafas secara dalam dan menghembuskannya dengan
rileks. Secara perlahan, guru “mambangunkan” siswa.
Perkataan
Guru pada Siswa
|
Instruksi untuk Guru
|
Sekarang, kita sudah sama-sama
merasakan betapa damainya badan kita. Tarik nafas panjang lewat
hidung........... hembuskan lewat mulut secara perlahan...... Bagus
Sekarang ibu akan menghitung 1 sampai
3. Saat ibu menghitung 1, rasakan udara di ruangan ini dan posisi dudukmu
tanpa membuka mata. Ketika ibu berkata 2, berpindahlah dari tempatmu duduk,
masih dalam mata tertutup. Ketika ibu berkata 3, bukalah matamu dan ulurkan
badanmu seperti bangun tidur (ngolet).
|
Beri feedback setelah rileksasi dilakukan seperti “Apakah itu mudah?,”
“Menyenangkan?”
|
Fase kelima
adalah fase diskusi. Siswa dan guru saling berdialog tentang apa yang dirasakan
saat rileksasi dilakukan. Siswa juga ditanya tentang kegunaan lain dari rileks
itu apa saja. Guru menambahkan bahwa rileks juga berguna saat sedang cemas
karena kedatangan teman yang telat saat sudah berjanji, marah, saat di lampu
merah yang lama atau macet, dan lain-lain. Siswa dapat melakukan rileksasi
dengan cara menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, penguluran otot
yang tegang juga bisa dilakukan secara individu.
Efek
Model Rileksasi: Langsung dan Tidak Langsung
Model ini secara langsung dapat memberikan efek rileksasi
pada siswa secara psikologis, mental dan emosional. Secara langsung rileksasi
yang dirasakan dapat berupa perasaan santai, damai dan tenang. Efek secara
tidak langsungnya antara lain siswa dapat mengetahui dirinya sendiri dalam
keadaan cemas sekaligus dapat menanganinya secara individu. Kemampuan ini
didapat melalui diskusi setelah dilakukannya rileksasi di kelas. Apabila siswa
dapat mengatasi kecemasannya sendiri, dapat dipastikan bahwa ketenangan pada
apapun kondisi yang siswa hadapi dapat ia miliki, salah satunya keadaan sebelum
ujian. Bila ketenangan didapat, siswa akan lebih santai dalam mengerjakan ujian
sekaligus konsentrasi tidak terbelah oleh cemas dan materi yang diujikan.
***
Daftar
Pustaka
Bruce
Joys dan Marsha Weil. (1980). Models of
Teaching. 2nd. ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
KOMPAS.
(2014). “Tak Ada Ujian Nasional untuk Siswa SD, Ini Penggantinya!”. Diambil
dari http://edukasi.kompas.com/read/2014/03/15/0959086/Tak.Ada.Ujian.Nasional.
untuk.Siswa.SD.Ini.Penggantinya, pada tanggal 23 April
2014
Slavin,
R.E. (2000). Educational Psychology:
Theory and Practice. 6th. ed. Boston: Allyn and Bacon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar