Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 25 April 2014

Model Rileksasi Praujian: Menghapus Kecemasan, Menciptakan Ketenangan


Oleh Erina Candra Dewi
 
            Beberapa media cetak maupun elektronik pada awal tahun 2014 menyoroti ditiadakannya ujian nasional (UN) untuk sekolah dasar. Dihapuskannya ujian nasional tersebut tidak serta merta siswa sama sekali tidak menempuh ujian untuk dijadikan bahan seleksi untuk mendapatkan sekolah jenjang berikutnya (SMP sederajat). Seperti yang dinyatakan Musliar Kasim, Wakil Menteri Bidang Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kompas, 15 Maret 2014, bahwa peniadaan UN 2014 terkait dengan pendidikan dasar 9 tahun yang merupakan kesinambungan dan nilai ujian sekolah yang merupakan pengganti ujian nasional tetap berlaku untuk mendaftar di SMP yang diinginkan.
            Sudah barang tentu persiapan ujian memerlukan usaha yang lebih dibandingkan biasanya. Waktu yang dimiliki siswa yang biasanya untuk bermain, pengembangan diri (ekstrakurikuler) dan lainnya digunakan untuk mendalami materi ujian. Kebijakan seperti ini umum ditemukan di banyak SD di Indonesia. Oleh karena itu, tak jarang siswa akan merasa mendapat tekanan. Tekanan inilah yang akan memicu siswa menjadi cemas bahkan stres menjelang ujian.

Kecemasan sebagai Respon dari Tekanan
Teori behaviourisme yang banyak dianut oleh pakar psikologi antara lain Thorndike, Ivan Pavlov, B. F. Skinner, Slavin, dan Albert Bandura mengungkapkan bahwa belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000: 143). Kebiasaan diciptakan oleh kumpulan-kumpulan aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang. Stimuli tertentu akan menghasilkan respon tertentu. Respon yang ditimbulkan ini bergantung pada subyek yang menerima stimuli karena bergantung kepada apa yang ia pelajari sebagai kebiasaan. Akan tetapi Joseph Wolpe dalam bukunya Practice of Behaviour Therapy (dalam Joyce dan Weil, 1980: 389) mengungkapkan bahwa pola kebiasaan itu dipelajari dan bisa dimodifikasi atau “tidak dipelajari” dengan membuat stimuli serta penguatan untuk mengubah kebiasaan. Maksudnya adalah prinsip dari counter-conditioning atau pengkondisian perlawanan yaitu untuk mengubah respon agar kebiasaan lama (kebiasaan buruk) bisa berubah kepada kebiasaan baru (kebiasaan baik).
            Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan antara orang satu dengan orang lainnya bisa jadi sama bila mendapati stimuli tertentu. Salah satu kebiasaan ini adalah respon panik atau cemas ketika mendapat stimuli tekanan. Bukan hanya satu orang yang mempunyai kebiasaan ini, contohnya adalah anak-anak sekolah dasar. Waktu-waktu khusus seperti waktu mendekati ujian tidak jarang kebanyakan siswa bersikap cemas. Di bawah ini ada sebuah keadaan kecemasan siswa yang ditulis oleh Robert Decker, Ph. D. (dalam Joyce dan Weil, 1980: 388-389), seorang psikolog klinis. Contoh ini dialami oleh siswa kelas 7 akan tetapi penulis berkeyakinan bahwa siswa SD sekalipun sangat bisa mengalami keadaan cemas seperti ini.
                        A seventh grade class in Austin, Texas, is getting ready to present a program on local environmental issues to an assembly of the student body of the school. They have been preparing it for several days. Sally Moon, the social studies teacher, meets with the class at one o’clock to begin the final preparations for the assembly, which will begin at 2.15.
                        Things do not seem to be quite together. The student are squabbling about who is doing what. Some of the posters they have prepared cannot be seen from a distance and have to be redone quickly. Sally finds herself feeling tense, and she and one of the children snap at each other as they are arranging the stage. She stands for a moment looking at the children as they bustle about and says, “Let’s take a few momentsfor ourselves. Jeannie, will you lead us in our relaxation exercises?” For a moment the students look puzzled. One or two appear to be annoyed at being Jeannie begins. “Let’s start with the old basics,” she says. “Hold your arms straight out, make a fist, and when I say ‘relax’, let your arms fall into your laps.” For several minutes they practice tensing and relaxing their hands and arms, shoulders and stomachs, moving from one part of the body to another.
                        “My gosh, I feel better now,” says Jeannie. “Do you think that’s enough?” Everybody smiles as they ge up and resume their tasks. There is less tension, and they feel closer to one another because they have recognized that they were letting the pressure of the program “psyche them out.” They have learned that stress and anxiety inhibit efficiency and are uncomfortable states, whereas when they are relaxed, they are more effective and feel better. Sally smiles and begins to help the children rather than snapping at them, and they smile back in their shared knowledge of having ––at least for that moment––been brought together to solve a problem by exchanging a productive, comfortable behavior for they discomfort.
                        Sally Morton and her class have learned the Relaxation Model. They have acquired a basic tool for working together more smoothly.

            Contoh di atas termasuk penggambaran siswa yang sedang cemas ketika mendapat tekanan dan guru melakukan sebuah model rileksasi untuk membuat siswa nyaman secara psikologis. Selanjutnya akan dijelaskan sebuah model yang berguna dalam mengatasi kecemasan siswa terutama ketika mendapat tekanan (mis: mendekati ujian).

Model Rileksasi dalam Pendidikan di SD
            Pendidikan di SD dilaksanakan bukan hanya untuk membekali siswa pengetahuan semata. Keterampilan juga diajarkan bukan hanya sebagai penyokong pengetahuan yang diterimanya melainkan juga sikap yang melekat pada dirinya. Sikap tentu saja erat kaitannya dengan aspek psikologis siswa. Sikap cemas yang biasa timbul ketika mendapatkan tekanan tentu saja harus dilakukan sebuah modifikasi demi kebaikan psikologis siswa saat itu maupun di masa depan.
            Model rileksasi yang dimaksudkan untuk memodifikasi respon kecemasan siswa yaitu rileksasi yang dilakukan oleh satu kelas siswa dengan guru sebagai instrukturnya. Model ini menggunakan cara peregangan otot, pengondisian fisik yang rileks (merenggangkan pakaian/ikat pinggang, melepas kacamata, duduk dengan santai, memejamkan mata) dan mengubah sebentar fokus pikiran dari yang membuat pikiran menjadi stress kepada pikiran yang membuat rileks. Waktu pelaksanaan rileksasi ini bisa dalam jam pelajaran dengan mata pelajaran dan bisa berdiri sendiri sebagai jam khusus rileksasi. Penulis merekomendasikan jam khusus rileksasi untuk memodifikasi respon cemas siswa terhadap ujian. Jam khusus rileksasi ini bisa dilaksanakan pada hari terakhir di setiap minggunya sekitar 1 bulan sebelum ujian. Waktu rileksasi dalam satu kali praktik memerlukan waktu 20-30 menit.

Penerapan Model Rileksasi
            Terdapat 5 fase dalam penerapan model rileksasi ini. Pertama adalah fase persiapan (setting stage). Dalam fase ini, guru mempersilakan siswa untuk membuat nyaman dirinya sendiri. Kenyamanan ini diciptakan dengan memperbaiki posisi duduk (bisa di kursi maupun di atas karpet), melonggarkan pakaian misalnya ikat pinggang yang agak dikendorkan, melepaskan kacamata, dan lain-lain. Akan lebih baik bila siswa memejamkan matanya untuk mendapatkan suasana yang lebih menenangkan. Bila siswa enggan menutup mata, guru meyakinkan siswa bahwa yang akan dilakukan bersama akan baik-baik saja dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Kedua adalah fase transisi atau pemanasan. Pada fase ini, secara oral guru membuat siswa lebih rileks lagi. Berikut adalah contoh skrip perkataan guru pada siswa dan instruksi untuk guru pada fase kedua model rileksasi.
            Perkataan Guru pada Siswa
Instruksi untuk Guru
Mengalir bersama apa yang ibu ucapkan, kalian akan merasakan tubuh kalian yang rileks dan lebih rileks lagi..........Mulai dari badanmu......Rasakan otot-otot mu yang mulai melemas.......Rasakan badanmu yang tenang dan damai......Lebih damai dan lebih riles lagi.......
Pesan yang lembut, perlahan-lahan dan rileks adalah yang paling penting pada fase ini. Yang perlu dikendalikan adalah kontrol nada suara, tempo, keras-lemah suara. Guru harus berlatih dahulu sebelum mempraktikkannya langsung pada siswa. Akan lebih baik bila guru merekam suaranya dan mendengarkannya sendiri. Dengan cara ini, guru akan mengetahui di bagian mana harus diperbaiki tone suara dan lain-lainnya.

            Fase yang ketiga disebut dengan fase memindah fokus pikiran (moving focus relaxation). Ini adalah fase yang utama dalam model ini. Siswa diinstruksikan untuk fokus dan merileksasi badannya mulai dari kaki, betis, paha, pinggang, dada, otot-otot pernafasan, pundak, tangan, dan otot-otot di wajah. Guru menggunakan perkataan dengan tempo yang pelan. Di bawah ini adalah contoh skrip perkataan guru.
            Perkataan Guru pada Siswa
Instruksi untuk Guru
Sambil duduk dalam rileksasimu, dengarlah perkataan ibu, ibu akan membawamu ke dalam sebuah perjalanan yang sangat damai. Kembali rilekskan seluruh tubuhmu.......

Untuk memulainya, rasakan kakimu. Ia begitu tenang dan rileks......Betismu, lemas dan santai........Rasakan..........Good.
Tetap menggunakan nada suara yag lembut dan tenang. Rileksasi ini ditujukan pada seluruh otot-otot tubuh yang dimungkinkan tegang dan membutuhkan rileksasi. Timbal balik seperti berkata “Bagus”, “Good” akan membuat siswa lebih merasa rileks dan yakin dengan apa yang dirasakannya. Fokus siswa akan tertuju hanya pada rasa rileks tersebut.

            Di fase keempat adalah fase pelepasan dari fase rileksasi secara perlahan-lahan. Siswa diberikan kesempatan untuk menikmati suasana rileksnya dan berlatih pernafasan. Siswa diminta untuk benar-benar merasakan apa yang ada dalam dirinya. Guru membimbing siswa untuk bernafas secara dalam dan menghembuskannya dengan rileks. Secara perlahan, guru “mambangunkan” siswa.
            Perkataan Guru pada Siswa
Instruksi untuk Guru
Sekarang, kita sudah sama-sama merasakan betapa damainya badan kita. Tarik nafas panjang lewat hidung........... hembuskan lewat mulut secara perlahan...... Bagus

Sekarang ibu akan menghitung 1 sampai 3. Saat ibu menghitung 1, rasakan udara di ruangan ini dan posisi dudukmu tanpa membuka mata. Ketika ibu berkata 2, berpindahlah dari tempatmu duduk, masih dalam mata tertutup. Ketika ibu berkata 3, bukalah matamu dan ulurkan badanmu seperti bangun tidur (ngolet).
Beri feedback setelah rileksasi dilakukan seperti “Apakah itu mudah?,” “Menyenangkan?”

            Fase kelima adalah fase diskusi. Siswa dan guru saling berdialog tentang apa yang dirasakan saat rileksasi dilakukan. Siswa juga ditanya tentang kegunaan lain dari rileks itu apa saja. Guru menambahkan bahwa rileks juga berguna saat sedang cemas karena kedatangan teman yang telat saat sudah berjanji, marah, saat di lampu merah yang lama atau macet, dan lain-lain. Siswa dapat melakukan rileksasi dengan cara menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, penguluran otot yang tegang juga bisa dilakukan secara individu.

Efek Model Rileksasi: Langsung dan Tidak Langsung
            Model ini secara langsung dapat memberikan efek rileksasi pada siswa secara psikologis, mental dan emosional. Secara langsung rileksasi yang dirasakan dapat berupa perasaan santai, damai dan tenang. Efek secara tidak langsungnya antara lain siswa dapat mengetahui dirinya sendiri dalam keadaan cemas sekaligus dapat menanganinya secara individu. Kemampuan ini didapat melalui diskusi setelah dilakukannya rileksasi di kelas. Apabila siswa dapat mengatasi kecemasannya sendiri, dapat dipastikan bahwa ketenangan pada apapun kondisi yang siswa hadapi dapat ia miliki, salah satunya keadaan sebelum ujian. Bila ketenangan didapat, siswa akan lebih santai dalam mengerjakan ujian sekaligus konsentrasi tidak terbelah oleh cemas dan materi yang diujikan.
***



Daftar Pustaka
Bruce Joys dan Marsha Weil. (1980). Models of Teaching. 2nd. ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
KOMPAS. (2014). “Tak Ada Ujian Nasional untuk Siswa SD, Ini Penggantinya!”. Diambil dari http://edukasi.kompas.com/read/2014/03/15/0959086/Tak.Ada.Ujian.Nasional. untuk.Siswa.SD.Ini.Penggantinya, pada tanggal 23 April 2014
Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. 6th. ed. Boston: Allyn and Bacon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 

Designed By Blogs Gone Wild!